Minggu, 22 April 2012

Biaya Pilkada di Indonesia




Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Priyo Budi Santoso, menilai mahalnya ongkos pemilihan kepala daerah (Pilkada) bisa menjadi salah satu pemicu perbuatan korupsi oleh para kepala daerah. Oleh karena itu pengaturan biaya pilkada menurut Priyo, layak diatur lagi dalam Undang-Undang (UU) Pemerintah Daerah dan UU Pilkada.

"Betul bahwa biaya untuk maju sebagai gubernur, bupati, walikota itu sangat tinggi. Inilah yang kami sekarang perhatikan dan kami cari jalan keluar, apakah nanti kami akan ubah tata perundangan yang memungkinkan biaya tersebut jadi efisien," kata Priyo di gedung DPR, hari ini.Partai-partai yang kadernya tersangkut korupsi diminta wakil ketua DPR itu untuk mengevaluasi diri dan membina kader-kadernya agar tak menyalahgunakan dana daerah."Khusus untuk kasus-kasus terhadap berbagai tokoh-tokoh atau kader partai. Ini juga saatnya partai berbenah diri karena hampir semua partai terkena, termasuk Golkar, PDIP termasuk Demokrat dan PKS," katanya.

Kasus korupsi makin menjerat kepala daerah karena definisi korupsi itu sendiri meluasBelum lagi beberapa kepala daerah terpaksa menghalalkan segala cara untuk membalas budi pihak yang menyokong yang bersangkutan untuk mendapatkan jabatan tersebut; sokongan pihak-pihak itu diperlukan akibat biaya politik jelang Pilkada yang mahal."Karena biaya yang tinggi menjadi memancing untuk balas jasa pihak-pihak tertentu dan menggunakan (jabatan) ini untuk kembalikan dana yang dikeluarkan dalam Pilkada," kata Priyo.

Selain itu Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyatakan, biaya pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) di Indonesia masih boros dan bisa dihemat hingga 50 persennya. Pernyataan ini mengacu pada hasil penelitian Fitra di tiga provinsi dan 11 kabupaten/kota.

Menurut Yuna, pemborosan terjadi antara lain karena selama ini sering terjadi duplikasi anggaran. Potensi anggaran ganda, misalnya, terjadi pada honor anggota dan biaya operasional Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).Pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), terdapat pos uang kehormatan untuk anggota KPUD setiap bulan dan belanja operasional kantor KPUD. Pada saat yang sama, pada anggaran pendapatan dan belanja daerah terdapat pos honorarium anggota KPUD selama delapan bulan, honorarium anggota kelompok kerja KPUD selama tiga bulan, dan belanja administrasi kantor KPUD.

Bila pos-pos anggaran ganda itu bisa dihilangkan, menurut Yuna, biaya pemilihan bupati atau wali kota bisa ditekan hingga separuhnya. Di sembilan kabupaten dan kota yang diteliti, Fitra membuat simulasi penghematan honor penyelenggara pemilihan yang bisa mencapai Rp 3-4 miliar.Karena itu, Fitra meminta pemerintah hanya memakai APBN sebagai satu-satunya sumber biaya pemilihan kepala daerah. Alasannya, selain untuk mencegah duplikasi, penggunaan APBN bisa membawa sejumlah dampak positif bagi pemilihan kepala daerah. Antara lain, itu bisa menghindari konflik kepentingan antarlembaga.

Menurut Yuna, pembiayaan dari APBD membuka peluang bermainnya aktor-aktor penentu dalam pembahasan anggaran daerah. Ada kecenderungan KPUD tersandera karena anggaran bergantung pada persetujuan kepala daerah, yang biasanya mencalonkan diri lagi sebagai kepala daerah. Penggunaan anggaran tunggal dari APBN, “Bisa lebih menjamin independensi KPUD dan Panitia Pengawas,” kata Yuna.

Dengan penggunaan dana APBN, tahapan pemilihan kepala daerah bisa diselaraskan dengan siklus anggaran. Dengan begitu, kata Yuna, keterlambatan pencairan dana pusat yang berakibat pada pengalihan pos anggaran lain, seperti anggaran kesehatan dan pendidikan, tidak terjadi lagi. 

Sumber :

1 komentar:

  1. lebih baik uangnya di bagi2 kan ke sekolah buat beli buku pelajaran, atau beasiswa di tambah..

    ada uang ada kekuasaan...gak ada habisnya

    BalasHapus